Rabu, 17 Agustus 2011

POTENSI LIMBAH UDANG SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT (TIMBAL, KADMIUM, DAN TEMBAGA) DI PERAIRAN

Oleh :  Marganof P. 062030111
Abstrak
Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar perairan tersebut hingga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat meterialnya mudah didapatkan dan membutuhkan biaya yang realtif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun dalam air limbah.
 Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah.
Kata kunci : logam berat, khitin, khitosan, koagulasi, absorben



                                                           BAB I.  PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG
Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka berkembang pulalah industri-industri. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Kebanyakan dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Saat ini budidaya udang telah berkembang dengan pesat sehingga udang dijadikan komoditas ekspor non migas yang dapat dihandalkan dan merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk beku yang telah dibuang kepala, ekor dan kulitnya. Limbah udang dapat dimanfaatkan menjadi senyawa kitosan. Namun sampai saat ini limbah tersebut belum diolah dan dimanfaatkan secara maksimal sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya bau dan estetika lingkungan yang buruk.
Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat. Peningkatan kadar logam berat didalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Pemanfaatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif (Rama, 1990) dan pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap ion logam berat merupakan alternatif yang memberikan harapan. Sejumlah biomaterial seperti lumut (Low et al., 1977), daun teh (Tan dan Majid, 1989, sekam padi (Munaf, 1997), dan sabut kelapa sawit (Munaf, 1999), begitu juga dari bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain telah digunakan sebagai bahan penyerap logam-logam berat dalam air limbah.
Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.

Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus  amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin khitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah (Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memecahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapat.
Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan tergolong dalam kelas Crustacea (Jasin, 1987). Seluruh tubuh terdiri dari ruas ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Soetomo, 1990). Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%- 40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%) (Marganof, 2003).
Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Annonim, 2003).
Isolasi kitin dari limbah udang dilakukan secara bertahap. Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan untuk transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, pencucian, pengeringan dan penepungan hingga menjadi kitosan bubuk. Kitin merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya dan bersifat polikationik.
Secara kimiawi kitin merupakan polimer berantai lurus dengan nama lain     -(1- 4)-2- asetamida-2-dioksi-D- glukosamin (N-asetil-D-Clukosamin) yang dapat dicerna oleh mamalia. Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer dari D-glukosamin. Perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bilan nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogenya lebih dari 7% maka disebut kitosan. Kitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik. Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Zakaria, 2000).
Kitosan yang ada di pasar Indonesia berasal dari Korea, India dan Jepang. Dengan besarnya potensi limbah udang untuk dimanfaatkan, Indonesia sebagai negara penyedia udang seharusnya mampu mengolah limbah udang yang dihasilkan secara maksimal menjadi kitosan, Kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengolahan limbah cair industri, karena kitosan memiliki sifat dapat menyerap logam berat dan menjernihkan limbah cair industri. Pencemaran air dari industri tekstil dapat berasal dari buangan air proses produksi, buangan sisa-sisa pelumas dan minyak, buangan bahan-bahan kimia sisa proses produksi, sampah potongan kain, dan lainnya. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD (Chemical Oxyden Demand) tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Jenis limbah yang dihasilkan industri tekstil adalah, logam berat terutama Arsenik, kadmium (Cd), krom (Cr), timbal (Pb), tembaga (Cu), zinc atau seng (Zn), Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing), zat warna dan pelarut organik (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia ádalah menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang dikandung air limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan). Pada umumnya bahan seperti aluminium sulfat (tawas), fero sulfat, poli amonium khlorida atau poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai koagulan dan flokulan. Industri tekstil menggunakan logam berat sebagai bahan pengikat warna agar warna yang dihasilkan menjadi lebih terang dan indah. Bahkan ada beberapa industri tekstil yang menggunakan logam berat sebagai bahan pewarna. Sehingga untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan memerlukan suatu proses yang ramah lingkungan.

1.2.  TUJUAN
a.    pertama, mengetahui potensi limbah udang sebagai bahan baku pembuatan kitosan.
b.   Kedua, mengetahui proses koagulasi logam berat dalam limbah cair industri tekstil. Ketiga, mengetahui nilai tambah dalam usaha pengolahan limbah udang menjadi kitosan

BAB II.   BAHAN DAN METODE

Isolasi kitin dari limbah udang dilakukan secara bertahap. Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan untuk transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, pencucian, pengeringan dan penepungan hingga menjadi kitosan bubuk. Proses pembuatan kitosan dari limbah udang disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut,




Gambar 1. Diagram Alir Metode Isolasi kitin dan kitosan dari Limbah Udang (Marganof, 2002)

Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar  yang dikandung air limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan). Umumnya zat pencemar industri tekstil terdiri dari tiga jenis yaitu padatan terlarut, padatan koloidal, dan padatan tersuspensi (forlink, 2000).
 Terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan dalam proses koagulasi yaitu, tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan. Koagulasi dan flokulasi merupakan salah satu proses yang umum dilakukan dalam pengolahan limbah cair ndustri. Koagulasi adalah proses penambahan bahan kimia atau koagulan kedalam air limbah dengan maksud mengurangi daya tolak menolak antar partikel koloid, sehingga partikel-partikel tersebut dapat bergabung menjadi flok-flok kecil. Flokulasi adalah proses penggabungan flok-flok kecil hasil proses kuagulasi menjadi flok-flok berukuran besar sehingga mudah mengendap (Mujiadi, S. dan Nieke, K. 2002).
BAB III.  HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pembahasan, ada tiga hal yang dibahas yaitu, pertama, potensi limbah udang sebagai kitosan. Kedua, mekanisme koagulasi logam berat limbah cair industri tekstil oleh kitosan, dan ketiga, potensi ekonomi produksi kitosan.

3.1.  Potensi Limbah Udang Sebagai Kitosan
Dari usaha pengolahan udang dihasilkan limbah udang sebesar 30% - 75% yang terbuang percuma tanpa diolah bahkan menyebabkan pencemaran. Jumlah tersebut sangat besar untuk ukuran limbah industri. Udang bukan merupakan satu- satunya sumber kitin. Rajungan merupakan hewan laut yang cangkangnya juga mengandung kitin bahkan lebih besar daripada udang. Namun ada beberapa faktor yang mendasari pemilihan udang sebagai bahan baku pembuatan kitosan. Pada Tabel 1 menunjukkan perbandingan antara udang dan rajungan sebagai bahan baku pembuatan kitosan.

Tabel 1. Perbandingan Produksi Kitosan Dari Udang dan Rajungan
Parameter
Udang
Rajungan

Jumlah produksi tahun 1997
Kandungan kitin
Limbah yang dihasilkan industri pengolahan

398.190 ton*
42%-57%**    
30%-75%***   
16.433 ton*
50%-60%**
25%-50%***

Sumber: * BPS, ** Marganof, (1997), *** Hartati, Tri,Rakhmadioni, dan  Loekito, (2002).

Proses pengolahan udang lebih mudah daripada rajungan walaupun rajungan memiliki kandungan kitin lebih besar daripada udang. Dengan persediaan bahan baku yaitu limbah udang yang besar dengan kandungan kitin yang rendah dapat menghasilkan kitosan yang lebih banyak daripada dengan menggunakan limbah rajungan yang bahan baku yaitu limbahnya sedikit walaupun kitin yang dihasilkan lebih banyak dari udang. Dengan mempetimbangkan faktor faktor di atas, maka dapat diketahui bahwa limbah udang sangat berpotensi untuk diolah menjadi kitosan. Dengan mempertimbangkan faktor faktor di atas, maka dapat diketahui bahwa limbah udang sangat berpotensi untuk diolah menjadi kitosan.

3.2.        Mekanisme Koagulasi Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil oleh Kitosan
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (PPLH-IPB, 1997, Sutamihardja dkk, 1982) yaitu:  
  1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
  2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang, ikan dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut
  3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasi selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.      
Kitosan bersifat polikationik dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Kitosan yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa. Prinsip koagulasi kitosan adalah penukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar dengan elektron yang dimiliki oleh nitrogen (N). Limbah cair yang mengandung logam berat apabila direaksikan dengan reagen yaitu kitosan khususnya dengan gugus aminanya maka akan berubah menjadi koloid dan koloid inilah yang disebut flok. Proses koagulasi logam berat oleh kitosan dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 2. Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Kitosan (Inoue, Kazuharu dan Baba, 1994)

Contoh tersebut menggunakan logam Cu atau tembaga. Dimana terjadi pengikatan Cu oleh gugus N dan O. Logam Cu tersebut akan terikat atau terserap, terkumpul dan terjadilah flokulasi flokulasi logam. Kitosan dengan kemampuan daya ikat atau daya serapnya mampu dijadikan koagulan yang tidak berbahaya. Polielektrolit merupakan bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair. Kitosan merupakan salah satu contoh dari polielektrolit.
Koagulasi yang disebabkan oleh polielektrolit meliputi empat tahap yaitu:
1) dispersi dari polielektrolit dalam suspensi,
2) adsorbsi antara permukaan solid-liquid,
3) kompresi atau pemeraman dari polielektrik yang teradsorbsi 
4) koalisi atau penyatuan dari masing masing polielektrik yang telah terlingkupi oleh partikel
untuk membentuk flokulasi flokulasi kecil dan berkembang menjadi flokulasi yang lebih besar.
Keempat proses tersebut digambarkan dalam Gambar 2.

Gambar 3. Tahap Tahap Koagulasi Polielektrolit Kitosan (Kennedy, dkk. 2001)




Logam berat dan logam lain secara keseluruhan dalam larutan elektrolit merupakan partikel bermuatan positif, sedangkan kitosan adalah polielektrolit bermuatan negatif, reaksi antara kedua partikel akan menuju pada arah penghilangan gradien muatan dan terbentuk senyawa produk yang tidak bermuatan. Mekanisme Koagulasi perbedaan muatan ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 4. Mekanisme Koagulasi Perbedaan Muatan (Kennedy, dkk. 2001)

3.3.  Potensi Ekonomi Produksi Kitosan
Menurut BPPT (2004) perhitungan dan kelayakan tekno-ekonomis untuk memproduksi kitosan dengan asumsi umur peralatan 10 tahun adalah sebagai berikut :
- Kapasitas produksi 2 ton kitosan per bulan dan 5 ton kitin per bulan
- Biaya investasi Rp 7,7 milyar
- NPV (Net Present Value) dengan I atau bunga = 20 % = Rp. 3,4 milyar
- IRR (Internal Rate of Return)= 36,70 %
- Payback period minimal = 3,5 tahun
- BEP (Break Event Point) : kapasitas produksi kitin 37 ton/tahun; 2,2 ton kitosan/tahun
- Biaya produksi rata-rata per kilogram : Rp. 47.950
- Harga jual kitin Rp. 51.000 per kilogram, kitosan Rp. 170.000 per kilogram.

Sedangkan dengan limbah udang yang didapatkan sebesar 298.642,25 ton per tahun maka kitin yang diolah adalah sebesar 170. 226 ton per tahun atau 14.185 ton per bulan. Menurut penelitian rata-rata hasil deasetilasi kitin menjadi kitosan adalah berkisar antara 6,04% dan 11,33% (Hartati, 2002), Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan setiap bulannya antara 856,774 ton sampai 1607,16 ton. Apabila dikonversikan dengan kapasitas produksi peralatan versi BPPT maka akan sama dengan 428,387 sampai dengan 803,58 kali kapasitas produksi peralatan tersebut. Bila kitosan diproduksi secara massal dengan nilai investasi Rp. 7,7 miliar per 2 ton kitosan berarti senilai dengan          Rp. 3,298 triliun sampai dengan Rp. 6,187 triliun. Dengan investasi yang sangat besar tersebut akan dihasilkan keuntungan yang berlipat ganda kira-kira sebesar Rp. 104,56 milyar sampai Rp. 196,15 milyar per bulan. Secara logika tanpa menggunakan analisa numerik, dengan peningkatan laba berarti BEP maupun payback period semakin mengecil, balik modal akan semakin cepat.
 Bila Indonesia mampu memproduksi kitosan maka dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa harus mengimpor dan tidak menutup kemungkinan dapat memenuhi kebutuhan luar negeri melalui ekspor. Proyek produksi kitosan di Indonesia belum digalakkan secara luas, Produksi kitosan merupakan suatu proyek besar yang harus dibangun secara serius, mengingat keuntungan ekonomis yang diberikan.

BAB IV.  KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
 1) Limbah Udang memiliki potensi yang besar untuk diolah menjadi kitosan karena ketersediaan limbah udang sebagai bahan baku cukup besar dan mudah diolah daripada material lainnya,
 2) Dengan gugus amina dan hidroksil yang dimiliki, kitosan memiliki kemampuan untuk menyerap logam berat yang terdapat dalam limbah cair industri tekstil sebagai sisa dari proses pewarnaan dengan metode penukar ion,
3) Selain sebagai koagulan yang ramah lingkungan, kitosan memberikan nilai lebih dalam usaha produksinya.  Dalam skala industri kitosan mampu memberikan keuntungan ekonomis yang besar. Produksi kitosan secara tidak langsung mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Annonimous. (2003). Biokatalis Mampu Kurangi Polutan Limbah.. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Minggu, 10 April 2005.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. (2004). Teknologi Proses Kitin Kitosan. [http://www.bppt.go.id] dikunjungi 9 April 2005
Brotowidjoyo, M. (1989). Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta
Dorfner, K dan Hartomo, A. (1993). Iptek Penukar Ion. Andi offset. Yogyakarta forlink. (2000).Paket Terapan Teknologi Bersih. [forlinkdml.or.id/pterapb/textile].
dikunjungi 11 Januari 2005
Haliman, R. (2003). Status Terkini Budi Daya Udang Penaeid di Indonesia. Hayati. Vol 10(IV). hal 151-153
Hartati, F., Tri, S., Rakhmadioni., dan Loekito, A. (2002). Faktor Faktor yang Berpengaruh Terhadap Deproteinasi Dalam Pembuatan Kitin Dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Biosain.. vol 2(1).
Inoue, K., Kazuharu, Y., dan Baba, Y. (1994). Adsorbtion Of Metal Ion On Chitosan and Chemically Modif2ied Chitosan and Their Application To Hidrometalurgy. Biotechnology and Bioactive Polymers., Gebelein, C., Carraher (Edd). Plenum Publishing. New York
Jasin, M. (1989). Zoologi Invertebrata. Sinar Harapan. Surabaya Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2003).
Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah. [http://www. menlh.go.id/usaha kecil/] dikunjungi 11
Maret 2005
Kennedy, J ., Marion, P., David, T.,dan Marisa. (1994). Recovery Of Proteins From Whey Using Chitosan As A Coagulant. Biotechnology and Bioactive Polymers. Gebelein, C., Carraher (Edd). Plenum Publishing. New York
Krissetiana, H. (2004). Kitin dan Kitosan Dari Limbah Udang. Suara Merdeka. Senin, 31 Mei 2004.
Kristanto, P. (2002). Ekologi Industri. Andi. Yogyakarta
Langgeng, W dan Setyo, W. (2004). Kebijakan itu Menuai Persoalan Harian Umum Suara Merdeka. Selasa, 10 Agustus 2004
Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmiun dan Tembaga) di Perairan. [http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm] dikunjungi 10 April 2005.
Mujiadi, S, dan Nieke K. (2001). Kemampuan Koagulan Poli Aluminium Khloride Untuk Menurunkan Warna Effluent Pengolahan Limbah P.T Sier.Jurnal Purifikasi.vol 2 (V). Hal 271-276.
Munaf, E dan R. Zein 1999. Pemanfaatan Sabut Kelapa Sawit untuk Menyerap Ion Logam Kadmium dan Kromium Dalam Air Limbah. Jurnal Kimia Andalas. 5 (1) : 10-14
Rama, D.P., and Rama Krisha Naidu, G. 1990. Enrichment of Trace Metals in Water on Acivated Carbon. Analyst. 115 : 1469 - 1471
Soetomo, M. (1990). Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru. Bandung Malaysia. (2000). Kajian ke Atas Kitosan Diteruskan. [http://www.ukm.my] dikunjungi 19 Desember 2004
Wardana, W. (2001). Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi. Yogyakarta
Widodo, A dan Muslihatin,W. (2005). Kitosan Dari Sisa Udang Sebagai
Koagulan Limbah Cair Industri Tekstil. Karya Tulis Ilmiah Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.


2 komentar:

  1. sangat membantu,
    boleh minta file data dari BPPT 2004 gak?terima kasih...

    BalasHapus
  2. terimakasih banyak kakak. informasi ini sangat bergunaa. makasih yah :)

    BalasHapus